Untuk menggambarkan atau memetakan karakteristik masyarakat hukum adat di Papua Barat, maka penting untuk melihat antropologis dan sosiolog...
Untuk menggambarkan atau memetakan karakteristik masyarakat hukum adat di Papua Barat, maka penting untuk melihat antropologis dan sosiologis tentang karakteristik etnografi masyarakat hukum adat di Papua Barat.
KOMPAS.PAPUA - Wilayah Papua Barat secara genealogi bahasa merupakan sebuah massive melting pot dari kedua tipe bahasa besar yang ada di Tanah Papua. Jika ditinjau dari penyebaran bahasa (language distribution) diseluruh wilayah Papua Barat yang terdiri dari Adat Budaya Domberay dan Bomberay.
Bahasa-bahasa Papuaa dan bahasa-bahasa Austronesian tersebar secara merata hampir ke semua titik simpul peradaban. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan wilayah Papua (New Guinea) lainnya.
Di provinsi Papua dan Papua New Guinea penyebaran bahasa - bahasa Austronesia umumnya terkonsentrasi pada wilayah pantai utara dari pulau New Guinea, namun di wilayah Papua Barat penyebarannya hampir merata ke seluruh wilayah. Kelompok yang termasuk tipe bahasa - bahasa Austronesia menguasai seluruh wilayah dari leher burung sampai ke sebelah utara dan Barat Daya.
Kantong - kantong dimana penutur bahasa Austronesia berada mulai dari wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Kaimana dan Fakfak, sedangkan di wilayah Manokwari, Sorong dan Raja Ampat hampir sebagian besar wilayah pantai adalah penutur bahasa - bahasa tipe Austronesian.
Kelompok bahasa - bahasa Papuan umumnya berada pada daerah gunung dan lembah (dataran rendah) dari kepala burung Seperti pegunungan Indon (Arfak), Ihandin (Iha), Ndokdar (Tambrauw), Maybrat, dan Moi.
Jika ditinjau dari distribusi bahasa kedua kelompok penutur ini telah melakukan interaksi dan komunikasi yang intensif dan masif sejak dahulu kala sehingga mengakibatkan terjadi percampuran budaya yang bernilai dalam kehidupan sosial budaya suku - suku di Papua Barat.
Sistem Kepemimpinan
Secara umum sistem kepemimpinan yang ada di wilayah Papua Barat secara tradisional dapat di bagi menjadi dua bentuk kepemimpinan tradisional yaitu sistem kerajaan dan sistem campuran.
Ciri utama dari sistem kerajaan bahwa kedudukan pemimpin menurut tradisi adalah pewarisan kepada anak lelaki sulung dari pemimpin yang sedang berkuasa. Jika tidak ada anak lelaki atau dianggap tidak memenuhi syarat karena cacat fisik atau mental terganggu maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh seorang adik atau saudara saudara laki -laki ayah.
Dan selain itu, ruang lingkup kekuasaan raja luas dan bisa mencakup beberapa kampung baik secara bahasa tidak dari satu keturunan maupun secara kampung berlainan. Kebudayaan ini merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan yang bersumber dari Papua dan kebudayaan yang bersumber dari Maluku terutama di bentang wilayah kepala burung.
Bentuk sistem kepemimpinan kedua adalah sistem kepemimpinan campuran. Pada sistem kepemimpinan ini pemimpin tidak selalu berada pada garis keturunan saja tetapi sekali - kali dapat beralih ke orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul pada situasi tertentu. Di kawasan Teluk Cenderawasih, sebagian besar menganut sistem campuran ini.
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat. Di Propinsi Papua istilah untuk pemangku adat berbeda-beda antar satu daerah dan daerah lainnya.
Dibeberapa tempat di Papua, kepala dari suatu perkumpulan adat yang membawahi suku-suku disebut Kepala Suku Besar (ondoafi), fungsinya mengayomi suku- suku yang ada dalam suatu kesatuan wilayah adat (secara umum). Selain Ondoafi, di setiap suku ada kepala/ atau pemimpin yang diangkat untuk mengepalai setiap suku, pemimpin disetiap suku disebut kepala suku.
Setiap klan/suku mempunyai kepala dengan peran utama yang menonjol yaitu pelindung, menyejahterakan rakyatnya, pelestari (Alexander L. Griapon, 2000: 116). Baik ondoafi maupun kepala suku, merupakan jabatan turun temurun, dan tidak sembarang orang bisa menduduki jabatan ini.
Dalam kaitannya dengan hak ulayat ondoafi disini fungsinya sebagai pelindung dari tanah-tanah adat yang dimiliki oleh setiap suku yang ada dalam wilayah kepemimpinan ondoafi. Ondoafi tidak berhak melepas sebuah tanah milik suku lain tanpa persetujuan dari kepala suku tersebut.
Dalam hal pelepasan tanah atau pengalihan tanah pada pihak lain kepala suku yang harus melepaskan tanah adat tersebut. Kepala adat/suku mempunyai tugas kewajiban, mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama baik yang diperuntukkan bagi kepentingan bersama, maupun bagi kepentingan warganya (Boedi Harsono, 2003).
Sistem Penguasaan Tanah/Hak Ulayat (Beschhikkingsrecht)
Jika ditinjau dari istilah ‘hak ulayat’ dalam definisi atau referensi rujukan kata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah ‘ulayat’ berkait dengan wilayah dan hak. Untuk itu, maka ketika berbicara tentang hak ulayat maka kita berbicara tentang hak patuanan (tuan dari tanah atau anak negeri pribumi ‘Landlord’). Dasar ini yang membuat sehingga orang papua sering secara ‘politik’ sosial budaya mengidentifikasi dirinya sebagai lelaki dan perempuan yang berideologi papua di panggil dengan sebutan penghargaan ‘tuan’ untuk kaum lelaki dan ‘puan’ untuk kaum perempuan.
Jika ditinjau dari istilah ‘hak ulayat’ dalam definisi atau referensi rujukan kata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah ‘ulayat’ berkait dengan wilayah dan hak. Untuk itu, maka ketika berbicara tentang hak ulayat maka kita berbicara tentang hak patuanan (tuan dari tanah atau anak negeri pribumi ‘Landlord’). Dasar ini yang membuat sehingga orang papua sering secara ‘politik’ sosial budaya mengidentifikasi dirinya sebagai lelaki dan perempuan yang berideologi papua di panggil dengan sebutan penghargaan ‘tuan’ untuk kaum lelaki dan ‘puan’ untuk kaum perempuan.
Hak ulayat atau hak patuanan (Beschhikkingsrecht) merupakan hak pertama dari 9 hak hukum adat tanah. Hak ulayat merupakan suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat keagamaan ’religius’. Hal ini berkait dengan teori konsep evolusi sosial universal Herbert Spencer (1820 -1903) yang mengatakan bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu dimulai karena manusia sadar dan takut akan maut.
Van Vollehoven merumuskan Hak ulayat sebagai suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat keagamaan ‘religio - magis’ di punyai suatu suku (stam), atau gabungan desa (dorpsbond) atau bisa jadi hanya satu desa saja dan tidak menjadi kepunyaan seorang individu.
Malak Stepanus (2006:38) menyatakan bahwa antara masyarakat hukum adat dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan erat yang bersifat religio - magis yang menyebabkan persekutuan masyarakat adat memperoleh hak untuk menguasai tanah. Hak inilah yang disebut hak ulayat yaitu kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Filosofi mendasar yang harus dipahami ketika kita berbicara mengenai tanah sebagai hak ulayat bagi orang Papua secara keseluruhan adalah bahwa berbicara tentang hubungan penduduk (masyarakat) dengan tanahnya. Hal ini berhubungan erat dengan hubungan kekerabatan, kekuasaan, kepemimpinan, sumber nafkah, ritus dan alam roh. Inilah yang disebut dengan hubungan hak ulayat yang bersifat ‘religio magis’.
Hubungan ini menjadikan tanah dihayati sebagai suatu bagian integral dari kepribadian orang. Hal ini membuat sehingga terdapat ikatan batin yang sangat kuat terhadap tanah, dan hal ini bukan berarti tanah dianggap suci tetapi hubungan batin manusianya dengan tanah itu yang suci. Ketika berbicara tentang ‘sistem penguasaan tanah’ yang dimaksud adalah pemilik dan pewaris tanah atau dengan kata lain mereka yang mempunyai hak atas tanah di wilayah tertentu.
Pada umumnya di wilayah lingkaran hukum adat Papua dikenal dua sistem penguasaan/ kepemilikan tanah yaitu kepemilikan komunal dan kepemilikan individu. Kepemilikan komunal ini masih dapat dibedakan lagi menjadi kepemilikan berbasis marga kecil yaitu Klan atau Marga tertentu, dan kepemilikan berbasis marga besar yaitu kepemilikan berdasarkan kampung dalam pengertian suku mana sebagai penduduk asli kampung. Sedangkan kepemilikan individu bukan perorangan tetapi keturunan.
Secara internal ada tata aturan yang mengatur ke dalam keluarga (marga) tentang pembagian hak dari penguasaan maupun pengelolaan tanah dan disana diakui bagian dari setiap anggota sesuai marga. Namun kekuasaan kepemimpinan atas tanah secara sosial religi berada pada orang tertentu yang berasal dari garis keturunan tertua. Jadi secara umum hak penguasaan ada dua yaitu hak persekutuan dan hak perseorangan.
Hak perseorangan bersifat sekunder sedangkan hak persekutuan bersifat primer.
Bagi orang Papua hubungan atas tanah (adat/ulayat) bukan semata - mata hubungan ekonomi yang dapat memberi makan tetapi juga merupakan wilayah dalam pengertian ulayat dimana kejadian-kejadian menurut cerita - cerita rakyat pernah berlangsung.
Hak perseorangan bersifat sekunder sedangkan hak persekutuan bersifat primer.
Bagi orang Papua hubungan atas tanah (adat/ulayat) bukan semata - mata hubungan ekonomi yang dapat memberi makan tetapi juga merupakan wilayah dalam pengertian ulayat dimana kejadian-kejadian menurut cerita - cerita rakyat pernah berlangsung.
Dengan kata lain hubungan itu tidak bisa dilihat secara sepihak pada manusia sebagai homo ekonomicus tetapi juga sebagai homo humanicus dan homo culturalis artinya tanah itu mempunyai hubungan yang suci secara batin dengan manusia.
Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka (13) Perdasus No. 21/2008 disebutkan: Hutan masyarakat hukum adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Konsekuensi hukumnya adalah hutan adat di Papua adalah hak milik dalam pemahaman peraturan perundang-undangan/hukum positif/hukum negara. Pengaturan dalam Pasal 5 memperkuat posisi ini. Pasal 5 menyebutkan: Masyarakat hukum adat di Provinsi Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing.
Mengapa harus sesuai wilayah adat masing-masing? Wilayah adat merupakan justifikasi penting bagi masyarakat adat di Papua dalam memahami sistem pemilikan dan pemanfaatan hutan. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada hutan di luar wilayah adat. Hutan merupakan bagian dari bumi yang tumbuh di atas tanah milik masyarakat adat yang merupakan wilayah adat mereka.
Wilayah adat adalah sebuah teritori dimana masyarakat hukum adat/masyarakat adat tinggal dan melanjutkan hidupnya turun temurun. Sebuah wilayah adat juga menjadi penting untuk membedakan antara satu masyarakat adat dengan masyarakat adat lainnya, yang ditunjukkan dengan batas-batas wilayah adat masing-masing (Pasal 7 huruf a Perdasus 21/2008).
Perbedaan ini juga ditunjukkan dengan semua kearifan lokal dan keunikan yang dimiliki masing-masing. Pengaturan pemilikan dan pemanfaatan wilayah adat dapat disesuaikan dengan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (hak ulayat dan hak perorangan). Lihat juga pengaturan dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Perdasus Nomor 22/2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua.
Permasalahan utama pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Papua selama ini, adalah tidak menciptakan rasa keadilan, tidak memberikan dampak perubahan sosial ke arah positif, dan tidak memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat adat pemiliknya.
Untuk itu, dalam rangka pelaksanaan UU Otsus dibidang PSDA, khususnya hutan, Perdasus No. 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dibuat. Semangatnya adalah adanya pengakuan bagi hak memiliki masyarakat atas hutan karena hutan adalah milik masyarakat adat, sedangkan pengelelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat hukum adat.
Oleh. Ir. Ben Gurion Saroy, M.Si
(Foto Oleh.Yulimin Timepo)
No comments