Dietrich Bonhoeffer menulis: "A king who dies on the cross must be the king of rather strange kingdom. Only those who understand the...
"A king who dies on the cross must be the king of rather strange kingdom. Only those who understand the profound paradox of the cross can also understand the whole meaning of Jesus assertion: 'My kingdom is not of this world..."
[Seorang raja yang mati di kayu salib mestinya seorang raja dari kerajaan yang aneh. Hanya mereka yang memahami paradoks terdalam dari salib juga mampu mengerti makna ucapan Yesus: 'Kerajaan-Ku tidak berasal dari dunia ini...'"].
Ya memang begitu. Pernah dalam sejarah kekristenan yang maha panjang itu Kerajaan Allah dikerdilkan sebagai sebuah kekaisaran atau kerajaan.
Corpus Christianum ditampilkan sebagai yang mempunyai kuasa duniawi dengan mempergunakan alat-alat kekuasaan duniawi. Para kaisar dan raja diangkat atau mengangkat diri sebagai pelindung Kerajaan Allah.
Para pemimpin gereja secara simpel mengidentikkan gereja dengan Kerajaan Allah. Maka tidak segan-segan kita berbicara mengenai makin luasnya Kerajaan Allah ketika yang dimaksud adalah makin bertambah besarnya gereja. Pada hal kita diberitau bahwa Kerajaan Allah adalah pekerjaan Allah sendiri. Dengan kata-kata lain tidak tergantung pada usaha manusia betapapun berkuasanya manusia itu.
Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah yang ada di antara kamu kepada para murid-Nya kendati mereka sama sekali tidak menampilkan diri sebagai yang gagah dan berkuasa. Sebaliknya mereka kelihatan kumuh dan kotor.
Atau Yesus juga berbicara tentang Kerajaan Allah sebagai sebiji sesawi yg kecil dan hampir-hampir tidak nampak. Itulah yang dipersepsikan oleh manusia ketika mereka melihat salib. Ketika sang Raja itu terpaku di tiang salib, dengan segera difahami sebagai kegagalan kerajaan. Orang tidak sabar untuk menantikan wujud kerajaan itu setelah salib.
Dewasa inipun kita cenderung tidak sabar mewujudkan dengan usaha sendiri tampilnya Kerajaan Allah itu di tengah-tengah dunia ini. Pada hal: "Kerajaan-Ku tidak berasal dari dunia ini...", sabda Yesus.
Lalu kita secara salah kaprah memuji-muji "kemajuan" gereja kita. Atau kita merasa tersinggung kalau ada yang mengejek gereja kita dan berbagai simbol yang dipunyai gereja.
Saya kira cukup tepat untuk merenungkan kembali kata-kata Dietrich Bonhoeffer sebagaimana dikutip di atas.
Oleh. Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe
Ya memang begitu. Pernah dalam sejarah kekristenan yang maha panjang itu Kerajaan Allah dikerdilkan sebagai sebuah kekaisaran atau kerajaan.
Corpus Christianum ditampilkan sebagai yang mempunyai kuasa duniawi dengan mempergunakan alat-alat kekuasaan duniawi. Para kaisar dan raja diangkat atau mengangkat diri sebagai pelindung Kerajaan Allah.
Para pemimpin gereja secara simpel mengidentikkan gereja dengan Kerajaan Allah. Maka tidak segan-segan kita berbicara mengenai makin luasnya Kerajaan Allah ketika yang dimaksud adalah makin bertambah besarnya gereja. Pada hal kita diberitau bahwa Kerajaan Allah adalah pekerjaan Allah sendiri. Dengan kata-kata lain tidak tergantung pada usaha manusia betapapun berkuasanya manusia itu.
Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah yang ada di antara kamu kepada para murid-Nya kendati mereka sama sekali tidak menampilkan diri sebagai yang gagah dan berkuasa. Sebaliknya mereka kelihatan kumuh dan kotor.
Atau Yesus juga berbicara tentang Kerajaan Allah sebagai sebiji sesawi yg kecil dan hampir-hampir tidak nampak. Itulah yang dipersepsikan oleh manusia ketika mereka melihat salib. Ketika sang Raja itu terpaku di tiang salib, dengan segera difahami sebagai kegagalan kerajaan. Orang tidak sabar untuk menantikan wujud kerajaan itu setelah salib.
Dewasa inipun kita cenderung tidak sabar mewujudkan dengan usaha sendiri tampilnya Kerajaan Allah itu di tengah-tengah dunia ini. Pada hal: "Kerajaan-Ku tidak berasal dari dunia ini...", sabda Yesus.
Lalu kita secara salah kaprah memuji-muji "kemajuan" gereja kita. Atau kita merasa tersinggung kalau ada yang mengejek gereja kita dan berbagai simbol yang dipunyai gereja.
Saya kira cukup tepat untuk merenungkan kembali kata-kata Dietrich Bonhoeffer sebagaimana dikutip di atas.
Oleh. Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe
No comments